Rodaku berputar lagi, kali ini aku tiba pada segmen puncak untuk melepas masa lajangku, memulai lembaran baru bersama dengan lelakiku. Untuk seorang gadis belia seumuranku yang lebih dimabukkan oleh cita-cita ketimbang cinta, rasanya hati ku tak bisa berhenti bergejolak. Ada banyak tanda tanya yang menghampiriku, dan sejujurnya belum mampu ku jawab saat ini. Aku mulai bingung dan mencari kebenaran tentang apa yang orang katakan. Mengapa orang-orang lain menjadikan pernikahan sebagai puncak pencapaian. Apakah mereka sudah berada di titik puas karir mereka? Apakah mereka sudah memiliki rumah berkamar banyak? Apakah mereka sudah mempunyai tabungan berdigit sampai anak mereka kuliah? Lantas bagaimana mereka bisa menjalaninya tanpa itu semua?
Aku bergelimang mimpi, sebagian sudah ku raih satu persatu, gelar akademikku, karirku, tapi aku tak pernah puas, belum. Aku ingin terus belajar, menata ilmu hingga tak ada lagi orang yang mampu merendahkanku. Aku sombong, dengan apa yang telah ku raih dahulu. Aku terlalu angkuh untuk melepaskan semuanya, sampai tiba saatnya aku berada di segmen ini. Rodaku tiba.
Kini ku paham, tingkat kematangan emosi tidak hanya sekedar mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu, mempunyai gaji besar, mampu menjadi pemimpin dalam tim atau mampu berbagi waktu. Aku menyadari bahwa aku masij egois untuk berbagi cita cita dengan orang lain, menurunkan standar impianku agar orang lain bisa menggapainya, ataupun bersabar karena aku harus menunggu.
Aku belum siap, namun mengapa rodaku tiba?
Ku teliti lagi sejenak, bukan perjalanan hidupku yang angkuh, namun perjalanan aku dan dirinya yang tak pernah ku dapatkan saat aku berjalan sendiri. Saat bersamanya, aku tak lagi perlu takut untuk merasa ditolak. Saat bersamanya, aku tidak perlu takut merasa gagal. Saat bersamanya aku tak perlu bertanding untuk menjadi yang terbaik. Aku, merasa menjadi aku yang sesungguhnya, saat bersama dia.
Aku bergelimang mimpi, sebagian sudah ku raih satu persatu, gelar akademikku, karirku, tapi aku tak pernah puas, belum. Aku ingin terus belajar, menata ilmu hingga tak ada lagi orang yang mampu merendahkanku. Aku sombong, dengan apa yang telah ku raih dahulu. Aku terlalu angkuh untuk melepaskan semuanya, sampai tiba saatnya aku berada di segmen ini. Rodaku tiba.
Kini ku paham, tingkat kematangan emosi tidak hanya sekedar mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu, mempunyai gaji besar, mampu menjadi pemimpin dalam tim atau mampu berbagi waktu. Aku menyadari bahwa aku masij egois untuk berbagi cita cita dengan orang lain, menurunkan standar impianku agar orang lain bisa menggapainya, ataupun bersabar karena aku harus menunggu.
Aku belum siap, namun mengapa rodaku tiba?
Ku teliti lagi sejenak, bukan perjalanan hidupku yang angkuh, namun perjalanan aku dan dirinya yang tak pernah ku dapatkan saat aku berjalan sendiri. Saat bersamanya, aku tak lagi perlu takut untuk merasa ditolak. Saat bersamanya, aku tidak perlu takut merasa gagal. Saat bersamanya aku tak perlu bertanding untuk menjadi yang terbaik. Aku, merasa menjadi aku yang sesungguhnya, saat bersama dia.
0 comments: