Hai sobat online, beberapa pekan lalu ada topik yang sempat booming yaitu pembahasan tentang prestasi dan privilege. Aku sendiri merasa topik ini sangat bagus terutama sekarang ini banyak orang-orang yang entah tidak tahu perbedaan antara prestasi dan privilage atau mungkin mereka lupa diri.
Aku ingin membahas lagi topik ini tapi akan ke arah personal hidup aku, apalagi sebagai seseorang yang menikah dengan WNA dan tinggal di luar negeri. Namun, aku akan memulai dulu dari masa dimana aku kuliah dulu karena masa-masa berharga dalam hidup aku bukan cuma tentang bertemu suamiku dan menikah.
Aku disekolahkan oleh kedua orang tuaku sampai lulus sarjana. Aku diberikan uang jajan tiap bulan agar aku tak kelaparan di kota orang. Itu semua adalah privilege atau hak yang aku dapatkan oleh kedua orangtuaku. Aku akhirnya lulus, sidang pertama untuk materi skripsiku, dan diterima kerja.
Itu adalah prestasiku yang aku dapatkan dari hasil kerja kerasku sendiri. Setelah beberapa waktu bekerja di perusahaan pertama, aku pindah anak perusahaan karena aku lolos test untuk program young leader. Aku pindah dan mendapatkan gaji yang lebih banyak. Itu juga adalah sebuah prestasi.
Semua prestasi yang aku dapat tak lepas dari privilege yang orang tuaku berikan sebelumya. Tanpa pembiayaan dan dukungan dari orang tuaku, aku tak mungkin memiliki gelar sarjana, lolos wawancara ,dan bekerja di perusahaan besar.
Setelah itu aku bertemu dengan suamiku, menikah dan kemudian pindah ke negara suamiku. Hidupku dibiayai oleh suamiku. Semua keperluan primer disediakan oleh suamiku untukku.
Lagi-lagi ini adalah privilege yang diberikan suamiku untukku.
Selama hidup di negara suamiku, aku kursus bahasa sampai dengan B1. Aku lulus B1 dengan nilai yang cukup baik dan juga lulus test LID (Leben in Deutschland) dengan nilai sempurna. Ini adalah prestasi karena hal tersebut adalah hasil yang aku dapatkan dari usahaku belajar.
Aku diterima kerja. Kerjaan pertama ditahun kedua aku tinggal di negara suamiku. Dengan keterbatasaan bahasa aku tetap berusaha. Aku menulis lamaran sendiri, dikoreksi oleh suamiku setelah aku selesai menulis. Dia hanya memperbaiki kesalahan tata bahasa tanpa mengubah isi dari surat lamaran itu sendiri. Satu hari kemudian aku ditelepon oleh kantor untuk interview. Aku lolos interview, aku diterima kerja. Ini adalah sebuah prestasi, hasil dari usaha yang aku lakukan dibantu oleh privilege yang diberikan oleh suamiku. Apa hak istimewa yang aku dapatkan dari suamiku? Suamiku membayar kursus bahasa, membayar tagihan internet dan telepon sehingga aku bisa berusaha untuk mencapai hal-hal yang aku capai.
Aku rasa contoh- contoh yang aku berikan sudah cukup sekarang mari kita masuk ke makna dari prestasi dan privilege itu sendiri.
Menurut KBBI, prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Hal ini bisa berupa prestasi akademis, belajar ataupun kerja.
Menurut kamus Oxford, privilege adalah hak spesial atau keuntungan yang hanya dapat dimiliki oleh orang-orang tertentu.
Seperti yang kita jumpai pada umumnya, prestasi adalah sesuatu yang layak untuk dibanggakan dan juga di pamerkan ke publik. Mulai dari hal-hal kecil, dulu waktu sekolah, murid-murid yang mempunyai prestasi selalu di banggakan didepan murid-murid lain pada waktu upacara. Sewaktu kuliah ada acara khusus untuk mahasiswa berprestasi. Karyawan berprestasi juga akan mendapat pujian.
Lantas, jika prestasi layak untuk di banggakan, apakah privilege juga?
Sadly, memang pada kenyataanya hidup itu tidak adil. Kita semua ini tidak memiliki peluang kesempatan yang sama. Orang-orang yang memiliki hak spesial dan orang-orang yang tidak memiliki hak pastinya akan membuahkan hasil yang berbeda.
Nah terus, apakah kita tidak boleh memamerkan privilege kita? Toh kan itu hak spesial yang mungkin hanya kita aja yang punya dan orang lain engga. Namun, apa dengan memiliki hak spesial kamu menjadi seseorang yang spesial seperti orang yang memiliki prestasi?
Menurut opini aku, boleh-boleh aja kamu memamerkan hak spesial mu ke publik tapi ada pertanyaan lain yang harus kamu jawab sebelum kamu bertindak,
"Apakah hak spesial ini layak untuk di konsumsi publik? Apa keuntungan yang aku dapat dan orang lain dapat jika aku memerkan hak spesialku? Apakah aku hanya ingin mendapat pujian? Namun ini kan bukan prestasi. Mendapat pujian dari hal yang sebenernya adalah hak ku apakah aku boleh bangga? Atau mungkin aku perlu pura-pura tidak peduli. Toh aku spesial. Namun, apakah benar ini layak di publikasikan?"
Jika kamu ragu atau bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin perlu di pikirkan lagi jika ingin mempublikasikan hak istimewa yang kamu terima.
Lalu mengapa jika ingin memamerkan prestasi itu lebih layak dibandingkan memamerkan privilege? Mengapa kalau ingin memamerkan privilege kita harus lebih banyak berpikir sebelum akhirnya bertindak?
Secara kasaran, kita bisa mengumpamakan hidup adalah sebuah audisi yang mengharuskan tiap orang memiliki tiket untuk bisa mengikuti dan memenangkan kompetisi tersebut. Seseorang telah memberikan kamu tiket gratis untuk mengikuti audisi. Tiket tersebut adalah privilege yang kamu dapatkan. Mungkin karena orang tersebut adalah orang tuamu, teman baikmu, saudaramu, suamimu, istrimu atau siapa saja.
Sekarang ada dua opsi yang bisa kamu lakukan. Kamu bisa langsung memamerkan kepada dunia bahwa kamu mendapat tiket secara cuma-cuma yang mungkin orang lain tidak bisa mendapatkannya. Opsi kedua, kamu menggunakan tiket tersebut untuk berusaha memenangkan audisi dan baru setelahnya membagikan prestasi kamu itu kepada publik.
Menurut mu, opsi mana yang lebih layak dilakukan?
Di zaman sosial media seperti sekarang ini, orang-orang dengan sangat mudah membagikan hal-hal apapun terhadap dunia, entah itu informasi, berita palsu, kabar gembira, kabar duka, hujatan, makian, ataupun opini seperti yang aku lakukan ini. Namun sayangnya, banyak yang tidak sadar bahwa sebenernya apa yang mereka bagian tersebut tidak layak di konsumsi publik. Mereka menyangka diri mereka ada istimewa bahkan hanya dengan memamerkan privilege yang mereka punya.
Bayangkan jika aku hanya memamerkan uang yang orang tua aku berikan tanpa ada nya prestasi? Bayangkan jika aku memamerkan bahwa aku akhirnya bisa tinggal diluar negeri karena privilege yang aku dapat dari menikah dengan suamiku. Bayangkan jika aku memamerkan semua barang yang suamiku berikan, misalnya uang, tas, sepatu, perhiasan, dan lain-lainnya tanpa adanya usaha untuk membuahkan hasil misalnya mendapat pekerjaan, atau lolos seleksi universitas.
Banyak sekali yang tidak sadar, bahwa hak istimewa tidak menjadikan kamu istimewa jika kamu tidak mengolahnya dengan baik. Mereka hanya berhenti dan merasa puas ketika diberikan privilege dan langsung menyebarkannya ke dunia seakan-akan mereka ingin dunia tahu bahwa mereka itu spesial.
Setiap orang punya privilege nya masing-masing. Bahkan kamu pun bisa membuat privilege mu sendiri jika kamu melakukan sedikit usaha.
Salah satu tokoh yang lumayan pas untuk perbandingan privilege dan prestasi adalah Maudy Ayunda. Siapa yang tak kenal gadis cantik dan cerdas itu? Maudy diterima oleh perguruan tinggi bergengsi di dunia. Apakah karena privilege?
Mari kita liat latar belakang Maudy, dia memiliki orang tua yang mendukung sepenuhnya apa yang Maudy inginkan. Dari kecil Maudy diajarkan untuk mencoba hal-hal yang baru. Maudy bisa terjun ke dunia hiburan dan menjadi terkenal juga awalnya karena Maudy mendapat privilege dari orang tuanya. Namun apakah itu cukup? Tidak. Untuk bisa sukses dan mempunyai banyak fans, Maudy harus berusaha dan mengasah bakatnya. Maudy disekolahkan oleh orang tuanya di SMA bergengsi di jakarta, namun untuk bisa bertahan, Maudy harus belajar. Sampai saat dimana Maudy diterima oleh Universitas bergengsi dunia pun Maudy berusaha, dia mengelola privilegenya dengan sangat baik dan terbukti oleh prestasi yang dia raih.
Sebenernya memamerkan privilege tidak sepenuhnya hal yang buruk. Itu bisa juga dijadikan motivasi untuk orang lain namun itu tergantung privilege apa dan motivasi apa yang bisa di dapatkan. Misalkan ada seseorang yang memamerkan tas bermerek hadiah dari suami WNA nya, lantas apakah bisa dijadikan motivasi oleh orang lain? Haruskah orang lain menikahi WNA untuk mendapatkan hadiah-hadiah barang mewah?
Motivasi seperti ini jelaslah bukan motivasi yang positif. Motivasi ini akan membuat lingkaran setan dimana masyarakat akan mengganggap WNA lebih superior. Namun kali ini bukan topik ini yang sedang dibahas.
Misalkan lagi ada orang yang memamerkan privilege bahwa dia dibiayai oleh orang tuanya kuliah di universitas terbaik seindonesia, lantas apakah ini bisa dijadikan motivasi untuk orang lain? Walaupun orang lain tidak punya orang tua yang mampu membiayai kuliah, mereka bisa berusaha sendiri misalnya dengan belajar dan mendapatkan beasiswa, atau pun dengan bekerja paruh waktu.
Ini merupakan motivasi yang baik yang bisa memacu orang lain untuk berprestasi.
Bagaimana dengan aku sendiri? Apakah aku tidak pernah memamerkan privilege yang tidak ada faedahnya ke publik? Oh jelas pernah. Terutama jika aku tidak mempunya prestasi untuk dipamerkan. Rata yang seperti itu, ketika aku mempunyai prestasi pasti aku bagikan ke publik, namun terkadang ada waktunya dimana aku tidak punya prestasi sama sekali tapi tetap ingin membagikan ke publik hanya karena aku berpikir dengan mempunyai hak spesial, aku otomatis menjadi orang yang spesial. Semua demi memuaskan ego dan mendapatkan pengakuan publik. Namun aku sadar bahwa hal seperti itu, tak layak. Nah, ada pertanyaan yang menggelitik hatiku sampai saat ini, apakah orang lain juga dapat menyadarinya?
0 comments: